BERITA

Bukan Larangan, Parpol Tak Calonkan Mantan Napi Koruptor Cuma Bersifat Imbauan


Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Pencalonan dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020 telah terbit. Namun dalam peraturan itu, KPU tak secara tegas melarang mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai Cakada. Aturan yang tertuang pada PKPU Nomor 18 tahun 2019 itu hanya bersifat imbauan dan tidak mengikat.

Ditetapkan pada 9 Desember 2019, PKPU itu memang terdengar berbeda mengingat selama ini KPU cukup gigih hendak memasukkan larangan mantan koruptor mencalonkan diri. Mengenai hal ini, Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik menilai aturan yang relatif "longgar" ini bertujuan agar tahapan Pilkada 2020 yang kurang dari setahun lagi ini tak terganggu.

"Kami intinya fokus pada tahapan saja, kalau ini terlalu menjadi dipersoalkan dan lain sebagainya ini kan bisa mengganggu tahapan pencalonan," kata Evi di Jakarta.


Evi menjelaskan, terdapat beberapa syarat bagi calon perseorangan yang berubah sehingga PKPU diharuskan untuk cepat disahkan dan peserta pemilu dapat mengetahui persyaratan yang diberikan. Saat ini pencalonan pilkada untuk perseorangan telah berjalan sejak 26 Oktober. Tahapan tersebut yaitu pendaftaran hingga penyerahan syarat minimal dukungan.

"Jadi yang paling penting, bagaimana peraturan KPU pencalonan ini cepat bisa keluar dan menjadi pedoman bagi tahapan pencalonan pemilihan kepala daerah 2020," kata Evi.


Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Bahtiar menyatakan PKPU tentang Pencalonan dalam Pilkada 2020, telah sesuai peraturan dan tak bertentangan dengan Undang-Undang. Dalam Pasal 4 soal persyaratan calon kepala daerah, tidak ada larangan bagi mantan terpidana korupsi.


Penambahan norma Pasal 3A ayat (3) dan ayat (4) oleh KPU, dengan menggunakan frasa mengutamakan bukanlah norma persyaratan dan tidak mengikat, norma yang hanya bersifat imbauan. Frasa mengutamakan, kata dia, bukan berarti melarang calon kepala daerah berlatar belakang mantan narapidana korupsi mengikuti seleksi calon kepala daerah yang dilakukan oleh parpol. 

"Hal sepenuhnya adalah kewenangan partai politik," kata Bahtiar.

Ia menuturkan bila larangan pencalonan mantan napi kasus korupsi dimasukkan ke dalam PKPU, maka ketentuan tersebut melebihi amanat yang tertuang dalam Pasal 7 ayat 2 huruf g dan penjelasan pasal 7 ayat 2 huruf g Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang  Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

"Pembatasan hak seseorang berdasarkan pasal 28 J ayat 2 UUD 1945  harus dilakukan melalui undang-undang, bukan melalui peraturan teknis," ujarnya.


Ketentuan tersebut juga telah dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 42/PUU-XIII/2015 di mana mantan terpidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah sepanjang mengemukakan secara terbuka dan jujur kepada publik sebagai mantan terpidana.

Isi Pasal 4 ayat 1 huruf h tersebut masih sama dengan aturan sebelumnya yakni PKPU Nomor 7 Tahun 2017 yang hanya mengatur larangan bagi dua mantan terpidana, yang berbunyi “Bukan Mantan Terpidana Bandar Narkoba dan Bukan Mantan Terpidana Kejahatan Seksual terhadap Anak.”


Dalam pasal 4 PKPU Nomor 18 Tahun 2019, kata dia, tidak ada syarat pencalonan bagi bukan mantan narapidana korupsi. Artinya, mantan napi kasus korupsi tetap boleh mencalonkan diri sepanjang diusulkan Parpol sesuai ketentuan Pasal 7 huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016, yang berbunyi "tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap."

Atau, kata dia, bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.


"Pemahaman tentang PKPU Nomor 18 tahun 2019 perlu disebarluaskan kepada publik agar masyarakat memahami substansinya dan adanya kepastian hukum dalam pelaksanaan Pilkada Serentak tahun 2020 mendatang," ucapnya.***

Posting Komentar

0 Komentar