Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta orang kaya nomor tiga 2019 versi Forbes, Prajogo Pangestu untuk mengatasi persoalan defisit neraca perdagangan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penyebab tekor neraca perdagangan karena impor migas dan petrokimia.

Hal itu disampaikan Jokowi saat meresmikan pembangunan pabrik kedua polyethylene milik emiten petrokimia PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) milik taipan Prajogo Pangestu di kawasan Cilegon, Banten, Jumat (6/12).

“Kalau bisa jangan sampai empat tahun, dua tahun selesai, gitu. Dikebut Pak Prayogo,” ujar Jokowi.

Pabrik baru ini mampu memproduksi 400 ribu ton dan akan menjadikan total produksi polyethylene Chandra Asri menjadi 736 ribu ton per tahun. Investasi pabrik kedua ini sekitar Rp60-Rp80 triliun. Pembangunan pabrik ditargetkan rampung empat tahun ke depan.

Saat ini, defisit neraca perdagangan sektor petrokimia Indonesia sebesar Rp193 triliun, disebabkan impor yang lebih besar dibandingkan ekspor. Untuk kebutuhan produk petrokimia mencapai 2,3 juta ton, dan baru bisa terpenuhi baru mencapai 736 ribu ton. Sementara 1,5 juta ton harus impor.

Nah, Jokowi mengharapkan setelah pembangunan pabrik kedua milik Prajogo Pangestu selesai, maka volume produksi nasional akan bertambah 4 juta ton. “Setelah produk petrokomia dalam negeri bisa terpenuhi, baru sisanya bisa diekspor,” kata Mantan Mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Dengan demikian, Jokowi optimis defisit neraca dagang dan transkasi berjalan bisa dengan cepat teratasi. “Kita harapkan nanti investasi yang berikutnya dari Chandra Asri sudah bisa selesaikan ini (defisit neraca perdagangan),” tuturnya.

Ke depan, Jokowi juga mengharapkan tidak ada lagi impor petrokimia, sebab Indonesia sudah memproduksi petrokimia secara berlebih. “Kalau kita bisa membuat sendiri kenapa harus impor,” tukas Jokowi.

Terpisah, Direktur Riset Center of Reforms on Economics (CORE), Piter Abdullah mengatakan, untuk mengatasi persoalan defisit neraca perdagangan tidak hanya fokus pada hilir saja namun juga hulu harus perhatikan.

“Membangun industri manufaktur khususnya industri hulu akan mengurangi ketergantungan kita akan bahan baku sekaligus memperbaiki neraca perdagangan,” ujar Piter kepada Fajar Indonesia Network (Grup RADARPENA), Jumat (6/12).

BPS merilis neraca perdagangan Indonesia secara kumulatif dari Januari hingga Oktober tercatat masih defisit. Realisasi kumulatif dari Januari-Oktober 2019 tercatat neraca perdagangan Indonesia defisit USD1,79 milar. Di mana total ekspornya USD139,1 miliar dan impornya USD140,8 miliar.

Sosok Prajogo Pangestu

Prajogo Pangestu, seorang anak penyadap getah karet. Taipan ini lahir 74 tahun silam di Sambas, Kalimantan Barat dengan nama Phang Djoem Phen.

Pekerjaan sang ayah yang hanya sebagai penyadap getah karet, membuat Prajogo kecil hanya mampu bersekolah sampai tingkat menengah pertama.

Kondisi demikian membuat Prajogo Pangestu mencoba mengubah nasib di Jakarta. Namun harapan tidak semudah yang dibayangkan, di Jakarta dia tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. Akhirnya dia kembali memutuskan ke Kalimantan dan bekerja menjadi sopir angkutan umum.

Hingga akhirnya di tahun 1960-an, Prajogo bertemu dan berkenalan dengan pengusaha kayu asal Malaysia, Bong Sun On. Dari sinilah kehidupannya mulai berubah.

pada 1969, Prajogo bergabung dengan Bung Sun On di PT Djajanti Group. Dinilai pekerja keras, tujuh tahun kemudian diangkat menjadi general manager (GM) di Pabrik Plywood Nusantara, Gresik, Jawa Timur.

Prajogo hanya setahun bertahan. Dia memutuskan untuk mencoba binsis endiri dengan membeli CV Pacific Lumber Coy. Dia meminjam midal dari BRI. Dalam setahun sudah berhasil melunasi hutangnya.

Kemudian mengganti nama Pacific Lumber menjadi PT Barito Pacific Lumber. Barito Group berkembang luas, yaitu di bidang petrokimia, minyak mentah, properti, hingga perkayuan.

Dengan gurita bisnisnya, Prajogo masuk nomor 3 orang terkaya di Indonesia versi Forbes. Kekayaan Prajogo yang kini dipegang sang anak, Agus Salim Pangestu itu sebesar USD7,6 miliar atau Rp106,4 triliun.